*PUASA AROFAH IKUT PEMERINTAH RI ATAU WAKTU WUKUF DI SAUDI?*
Assalamualaikum Wr Wb
Pemerintah (Kemenag) telah menetapkan 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Jumat 1 Juli 2022 yang berarti Puasa Arofah Sabtu 9 Juli dan Idul Adha hari Ahad 10 Juli. Sementara pemerintah Arab Saudi (setelah melihat penampakan hilal) tetapkan 1 Dzulihijjah jatuh hari Kamis ini (30 Juni) yang berarti Wukuf jatuh pada Jumat 9 Juli 2022. Muhammadiyah dengan metode Hisab wujudul hilal-nya jauh hari telah menetapkan 1 Dzulhijjah jatuh hari Kamis ini ( selaras dengan penetapan Arab Saudi).
Lantas, kita Puasa Arofah ikut mana?
A. Ikut pemerintah (9 Juli)
B. Ikut waktu Wukuf di Saudi (8 Juli)
C. Ikut keputusan Muhammadiyah ( 8 Juli)
D. A,B, C benar.
Jawabnya perlu dikaji dari berbagai sudut pandang.
Persoalan utama adalah terkait tempat terbit bulan (mathla- مطلع).
Berdasar kondisi geografis, ada dua cara penentuan awal bulan Hijriyah dalam konteks global dunia Islam.
1. Wihdatul Mathla’(وحدة المطلع): Hilal mengikuti satu negeri
Menurut pendapat ini, jika hilal telah terlihat di satu negeri maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa.
Dalilnya hadits Nabi SAW:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya“. [HR.Bukhaari dan Muslim].
Termasuk hadits dari Abu Hurairah:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban”.
Namun persoalan muncul jika memakai princsip ini. Realitanya negeri kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa negara dan memiliki kebijaksanaan yang berbeda-beda (nations state). Satu negara tidak tunduk kepada kebijaksanaan negara lain. Kecuali bila ada kesepakatan di antara negara-negara Islam tersebut. Namun kenyataannya, sampai hari ini kesepakatan itu tidak ada.
Jika wihdatul mathla’ dipaksakan, maka akan terjadi perselisihan kaum muslimin di satu negara dimana sebagian masyarakat berhari raya bersama pemerintahnya, sedangkan yang lain berpuasa dan berhari raya mengikuti kebijaksanaan negara lain (misal Mekah- Arab Saudi jika menjadi patokan).
2. Ikhtilaful mathali’(اختلاف المطالع): Hilal mengikuti negeri masing-masing
Kalangan yang berpedoman dengan ikhtilaful mathla’ mendasarkan pendapatnya pada hadits Kuraib yang mengalami awal puasa di Syam pada malam Jumat sedang saat kembali ke Madinah ia mendapati penduduknya mengawali puasa pada malam Sabtu. Artinya, wajib hukumnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan ru’yah mereka, bukan ru’yah selain negeri mereka.
Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami (HR. Muslim No. 1087).
Jika melihat realitas dunia Islam sekarang, maka pendapat yang lebih mungkin adalah kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri masing-masing. Sampai nantinya kaum muslimin berada di bawah satu pemerintahan, atau negara-negara Islam saling berkonsolidasi dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan.
Sejauh ini menteri agama negara-negara ASEAN telah menyepakati MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dimana imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.
*Alhasil, pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah penduduk negeri yang hilalnya berbeda dengan sebuah negeri (Mekah) agar dia berpuasa dan berhari Raya mengikuti hilal negerinya, dan tidak mengikuti hilal Mekah.*
Alasan Kedua soal Wukuf yang dijadikan patokan berpuasa Arofah. Perlu diingat bahwa Nabi SAW melaksanakan Haji dan berwukuf di Arofah baru pada tahun 10 Hijriyah. Sedangkan Shalat Idul Adha telah disyariatkan pada tahun 1 atau 2 Hijriyah (belum ada wuquf). Oleh karena itu Puasa Arofah tidak berpatokan pada peristiwa Wukufnya jamaah Haji di Padang Arofah, tapi tanggal 9Dzulhijjah di negeri-masing-masing.
Lebih lanjut jika suatu saat terjadi keadaan darurat, perang, atau pandemi dimana tidak mungkin dilaksanakan Wukuf di Arofah, maka kewajiban puasa Arofah tetap berlaku berdasar tanggal 9 Dzulhijjah.
Masuk konteks Indonesia, ada dua pendapat: Pemerintah (Kemenag) dan Muhammadiyah yang berbeda. Kita ikut mana?
Jawaban saya, karena kita negara penganut sistem demokrasi, maka silakan pilih berdasar kecenderungan pendapat jamaah masing-masing. Soal Muhammadiyah, NU, dan Kemenag sangat panjang historinya, luas spektrum sosial-politiknya. Berdemokrasi intinya siap berbeda pendapat, jika tidak siap silakan bisa memilih menjadi WN Kerajaan tertentu.
Pertanyaan Lanjutan:
“Mengapa Hilal di Indonesia tidak terlihat pada malam Kamis (30 Juni), namun di Saudi yang waktunya lebih mundur 4 jam dari Indonesia justru lebih awal penetapan awal bulannya (1 Dzulhijjah)?”
Jawabannya karena perhitungan waktu GMT itu berdasar peredaran matahari (kalender Syamsiyah). Sedang awal Ramadan atau bulan-bulan Hijriyah berdasar kalender lunar (qamariyah) yakni penampakan bulan sabit pertama (hilal) di negara masing-masing (ikhtilaful mathali’).
Jadi secara kalender Syamsiyah, Indonesia yang berada di wilayah Timur akan lebih awal waktunya 4 jam. Tapi berdasar terbit hilal (qamariyah), negara Saudi bisa 20 jam lebih dahulu sebab kelihatan hilalnya.
Kondisinya, waktu matahari terbenam di Indonesia, hilal masih rendah.
Namun 4 jam berjalan, tentu hilal jadi makin naik meninggi.
Analoginya seperti sebuah mobil yang melewati tanjakan dengan bentuk lengkungan setengah lingkaran, sementara kita berada di balik tanjakan. Awal menanjak mobil tidak kelihatan, lalu seiring gerak mobil sedikit kelihatan dan lama-lama makin naik tanjakan hingga lebih kelihatan oleh kita.
Itulah mengapa kita di wilayah Indonesia belum melihat hilal pada Rabu petang kemarin, sedang penduduk di wilayah Saudi sudah melihat hilal.
*Semoga Bermanfaat Dan Mohon Maaf Apabila ada yang kurang berkenan dan semoga Allah SWT Menerima Segala Amal Ibadah Kita Semua Aamiin Aamiin Aamiin Ya Robbal Alamin*